Ahlan wa Sahlan ayyuha zumala....

ketika kami termenung, ia datang dengan banyak cerita.

ketika kami terpuruk, ia datang dengan banyak harapan.

ia ada di mana-mana namun tak kemana-mana.

Jumat, 06 Januari 2012

madzhab azahiri


1.      Biografi Imam Ad-Dhohiri (202-270)


          Beliau lahir di kufah pada tahun 202 H dengan nama Abu Sulaiman Daud Ibn Ali AL-Asbahqni yang di kenal dengan Daud Ad-Dhahiri. Beliau banyak menghafal hadits-hadits dan seorang faqih mujtahid atas sebuah mazhab yang berdiri sendiri di luar mazhab empat yang terkenal setelah sebelumnya beliau menjadi mengikut mazhab Asy-Syafi’iyah. Mula-mula beliau bermadzhab Syafi’i dan amat teguh memegang hadist, ayahnya bermadzhab Hanafi, namun  pada akhirnya beliau menentang madzhab Syafi’I karena Syafi’I mempergunakan qiyas dan memandangnya sebagai sumber hukum. Daud pernah berkata : saya mempelajari dalil-dalil yang di pergunakan oleh Asy-Syafi’I untuk menentang istihsan. Maka saya dapati dalil-dalil membatalkan qiyas.

          Beliau berpendapat, bahwa nash-nash yang dipergunakan oleh ahlur Ra’yu dalam memandang qiyas sebagai dasar hukum, adalah berguna di waktu tidak ada sesuatu nash dari kitabbullah atau sunnah Rosul dan beliau berpendapat bahwa apabila kita memparoleh nash Al-quran dan sunnah, maka hendaklah kita memusyawarohkan hal itu dengan para ulama’, bukan kita berpegang kepada pendapat ijtihad sendiri.

          Madzhab beliau dikenal dengan madzhab Ad-Dhahiri karena beliau berpegang kepada dhahir Al-qur’an dan As-sunnah karena tidak menerima ada ijmak kecuali ijmak yang diakui oleh semua ulama’. Walau madzhab ini dasarnya berpegang pada dhohir nash, tetapi kita dapat menjumpai beberapa teori berat, karena dalam madzhab inilah kita jumpai pendapat yang menetapkan bahwa istri yang berharta wajib menafkahi suaminya yang fakir.[1]

2.  Pengikut dalam Madzhab.

           Murid Dawud Ad-Dhohiri yang ikut serta mengembangkan madzhabnya adalah:

a)      Muhammad bin Dawud bin ‘Ali (297 H) putra Dawud AL-Dhohiri sendiri.
b)      Ibnu AL-Mghallis (324 H )
c)      Abu Ahmad ‘Ali bin Hazm al-Andalusiy.

         Ada yang mengatkan bahwasanya Ibnu Hazm nama lengkapnya ‘Ali bin Ahmad bin Sa’ad bin Hazm bin Gholib bin Sholih bin Abi Sufyan bin Yazin adalah pengikut madzhab dhohirinya.[2]

3.      Sumber-sumber hukum Mazhab Zhahiri
  1. Al Qur’an
Yaitu sumber yang paling pokok dalam syariah, sumber-sumber yang lain pun merujuk padanya. Adapun kedudukan Al-Qur’an adakalanya sudah dipahami dari konteks kalimatnya sendiri dan tidak membutuhkan penjelasan dari hadist, dan adakalanya pula membutuhkan penjelasan dari hadist. Seperti penjelasan ayat yang membutuhkan perincian, semisal ayat seperti salat, puasa, zakat, haji, maka perinciannya dijelaskan oleh hadist. Dan adakalanya ayat al Qur’an jelas dan langsung bisa dipahami dan adapula yang tidak langsung bisa memahaminya kecuali orang yang mempunyai ilmu yang memadai terhadap hal tersebut. Allah berfirman dalam surat al anbiya :7
!$tBur $uZù=yör& šn=ö6s% žwÎ) Zw%y`Í ûÓÇrqœR öNÍköŽs9Î) ( (#þqè=t«ó¡sù Ÿ@÷dr& ̍ò2Ïe%!$# bÎ) óOçFZä. Ÿw šcqßJn=÷ès? ÇÐÈ  
“Kami tiada mengutus Rasul Rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, Maka Tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. ( al anbiya :7 )

Ibnu Hazm berkomentar tentang penjelasan al Qur’an ini . “ penjelasan tentang al Qur’an ini akan berbeda hasilnya, sebagian ada yang jelas dan sebagian ada yang samar yang menyebabkan orang cepat memahami dan sebagian yang lain akan lambat memahaminya. Hal ini tergantung kepada orang yang menjelaskannya. Dan hal inilah yang akan muncul perbedaan pemahaan”.

  1. As Sunnah
Yaitu rujukan yang kedua yang mendasar dalam syariah. Ibnu Hazm mengartikan dengan mentaati apa yang diperintahkan rasulullah SAW, sebagaimana firman Allah :
$tBur ß,ÏÜZtƒ Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ   ÷bÎ) uqèd žwÎ) ÖÓórur 4ÓyrqムÇÍÈ   
     “Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). ( An-Najm 3-4 )

Ibnu hazm mengkategorikan nash hanya dari al-Qur’an dan hadist sebagai sumber hukum pokok. Beliau berkata : “  Perintah Allah dan RasulNya semuanya fardhu, dan semua larangan Allah dan rasulNya hukumnya hara. Seseorang tidak pantas berkomentar persoalan ini sunah atau makruh kecuali dengan nash yang shahih yang enerangkan hal tersebut atau ijma’.

Beliau tidak mengkategorikan perbuatan nabi sebagai hujjah, kecuali sejalan dengan sabda Nabi. Adapun perkataan dan taqrir Nabi beliau memasukkannya secara lansung sebagai hujjah.

  1. Ijma’
Ijma’ disini yaitu terkhusus ijma’ para sahabat. Karena mereka menyaksikan langsung turunya wahyu. Zahiri juga mempunyai pendapat berbeda dengan pendapat mayoritas ulama, yaitu tidak ada perbedaan pendapat dalam ijma’. Sebagaimana terdahulu beliau tidak mengkategorikan ijma’ secara umum yang meliputi ijma’ para ulama melainkan hanya terkhusus ijma’ para sahabat saja yang hidup diawal islam bersama Nabi. Ijma inilah yang beliau maksudkan dengan firman Allah SWT :

(#qßJÅÁtGôã$#ur È@ö7pt¿2 «!$# $YèÏJy_ Ÿwur (#qè%§xÿs? 4 (#rãä.øŒ$#ur |MyJ÷èÏR «!$# öNä3øn=tæ øŒÎ) ÷LäêZä. [ä!#yôãr& y#©9r'sù tû÷üt/ öNä3Î/qè=è% Läêóst7ô¹r'sù ÿ¾ÏmÏFuK÷èÏZÎ/ $ZRºuq÷zÎ) ÷LäêZä.ur 4n?tã $xÿx© ;otøÿãm z`ÏiB Í$¨Z9$# Nä.xs)Rr'sù $pk÷]ÏiB 3 y7Ï9ºxx. ßûÎiüt6ムª!$# öNä3s9 ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷/ä3ª=yès9 tbrßtGöksE ÇÊÉÌÈ  

           “ dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (ali ‘imran 103 )
Dan firman Allah SWT 
(#qãèÏÛr&ur ©!$# ¼ã&s!qßuur Ÿwur (#qããt»uZs? (#qè=t±øÿtGsù |=ydõs?ur ö/ä3çtÍ ( (#ÿrçŽÉ9ô¹$#ur 4 ¨bÎ) ©!$# yìtB šúïÎŽÉ9»¢Á9$# ÇÍÏÈ  
        “ dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. ( Al-Anfal 46 )

Dari hal ini apabila didapati dalam agama ada kesepakatan dan perselisihan, maka Allah SWT telah mengabarkan dalam kitab-Nya bahwa perselisihan bukan dari sisi-Nya. Allah berfirman
Ÿxsùr& tbr㍭/ytFtƒ tb#uäöà)ø9$# 4 öqs9ur tb%x. ô`ÏB ÏZÏã ÎŽöxî «!$# (#rßy`uqs9 ÏmŠÏù $Zÿ»n=ÏF÷z$# #ZŽÏWŸ2 ÇÑËÈ  
       “ Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. ( An-Nisa : 82 )

  1. Dalil
Sumber hukum keempat yang dijadikan istimbat hukum yaitu dalil. Beliau memaksudkan dalil disini adalah setiap perkara yang diambil dari ijma’ atau nash yang dapat difahami maknanya secara langsung dari lafadznya dan bukan membawa keduanya kepada makna yang lain karena adanya illat. Hal ini berbeda dengan qiyas yang tidak disetujuinya karena qiyas mengeluarkan illat dan nash kemudian memberikan hukum asal yang sama kepada setiap perkara yang masuk didalamnya. Adapun dalil yang dipakai Ibnu Hazm yaitu apa yang bersandar pada kepada nash itu sendiri dan tidak mengeluarkannya kepada proses qiyas.

Mengenai ra’yu dalam ini beliau berpendapat bahwa tidak ada ra’yu dalam agama. Seseorang tidak dapat berijtihat denganya dan tidak sah mengistimbatkan hukum dengannya. Karena nash adalah hukum Allah SWT, sedangkan apa yang dihasilkan oleh ra’yu berarti telah membuat hukum sendiri dan bukan hukum Alah SWT. Seseorang juga tidak berhak berpendapat dengan membawa nama Allah kecuali rasul-Nya. Barang siapa yang berbicara dengan ra’yunya dalam agama sungguh dia telah mengada-ada dan berbohong.


[1] M. Ali hasan, Perbandingan madzhab (Jakarta, PT Raja Grafindo persada, 1995) 231-232
[2] Drs. Muhammad ma’sum zein, MA, 4 madzhab ( Darul-Hikmah jlopo Tebel Bareng Jombang JATIM, 2008)121