1.
Biografi
Imam Ad-Dhohiri (202-270)
Beliau lahir di kufah pada tahun 202
H dengan nama Abu Sulaiman Daud Ibn Ali AL -Asbahqni
yang di kenal dengan Daud Ad-Dhahiri. Beliau banyak menghafal hadits-hadits dan
seorang faqih mujtahid atas sebuah mazhab yang berdiri sendiri di luar mazhab
empat yang terkenal setelah sebelumnya beliau menjadi mengikut mazhab
Asy-Syafi’iyah. Mula-mula beliau bermadzhab Syafi’i dan amat teguh memegang
hadist, ayahnya bermadzhab Hanafi, namun
pada akhirnya beliau menentang madzhab Syafi’I karena Syafi’I
mempergunakan qiyas dan memandangnya sebagai sumber hukum. Daud pernah berkata
: saya mempelajari dalil-dalil yang di pergunakan oleh Asy-Syafi’I untuk
menentang istihsan. Maka saya dapati dalil-dalil membatalkan qiyas.
Beliau berpendapat, bahwa nash-nash
yang dipergunakan oleh ahlur Ra’yu dalam memandang qiyas sebagai dasar hukum,
adalah berguna di waktu tidak ada sesuatu nash dari kitabbullah atau sunnah
Rosul dan beliau berpendapat bahwa apabila kita memparoleh nash Al-quran dan
sunnah, maka hendaklah kita memusyawarohkan hal itu dengan para ulama’, bukan
kita berpegang kepada pendapat ijtihad sendiri.
Madzhab beliau dikenal dengan madzhab
Ad-Dhahiri karena beliau berpegang kepada dhahir Al-qur’an dan As-sunnah karena
tidak menerima ada ijmak kecuali ijmak yang diakui oleh semua ulama’. Walau madzhab
ini dasarnya berpegang pada dhohir nash, tetapi kita dapat menjumpai beberapa
teori berat, karena dalam madzhab inilah kita jumpai pendapat yang menetapkan
bahwa istri yang berharta wajib menafkahi suaminya yang fakir.[1]
2. Pengikut dalam Madzhab.
Murid Dawud Ad-Dhohiri yang ikut
serta mengembangkan madzhabnya adalah:
a)
Muhammad bin Dawud bin ‘Ali (297 H) putra
Dawud AL-Dhohiri sendiri.
b)
Ibnu AL-Mghallis (324 H )
c)
Abu Ahmad ‘Ali bin Hazm al-Andalusiy.
3.
Sumber-sumber hukum Mazhab Zhahiri
- Al Qur’an
Yaitu sumber yang paling pokok dalam
syariah, sumber-sumber yang lain pun merujuk padanya. Adapun kedudukan
Al-Qur’an adakalanya sudah dipahami dari konteks kalimatnya sendiri dan tidak
membutuhkan penjelasan dari hadist, dan adakalanya pula membutuhkan penjelasan
dari hadist. Seperti penjelasan ayat yang membutuhkan perincian, semisal ayat
seperti salat, puasa, zakat, haji, maka perinciannya dijelaskan oleh hadist.
Dan adakalanya ayat al Qur’an jelas dan langsung bisa dipahami dan adapula yang
tidak langsung bisa memahaminya kecuali orang yang mempunyai ilmu yang memadai
terhadap hal tersebut. Allah berfirman dalam surat al anbiya :7
!$tBur $uZù=yör& n=ö6s% wÎ) Zw%y`Í ûÓÇrqR öNÍkös9Î) (
(#þqè=t«ó¡sù @÷dr& Ìò2Ïe%!$# bÎ) óOçFZä. w cqßJn=÷ès? ÇÐÈ
“Kami tiada mengutus
Rasul Rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang
Kami beri wahyu kepada mereka, Maka Tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang
berilmu, jika kamu tiada mengetahui. ( al anbiya :7 )
Ibnu
Hazm berkomentar tentang penjelasan al Qur’an ini . “ penjelasan tentang al
Qur’an ini akan berbeda hasilnya, sebagian ada yang jelas dan sebagian ada yang
samar yang menyebabkan orang cepat memahami dan sebagian yang lain akan lambat
memahaminya. Hal ini tergantung kepada orang yang menjelaskannya. Dan hal
inilah yang akan muncul perbedaan pemahaan”.
- As
Sunnah
Yaitu
rujukan yang kedua yang mendasar dalam syariah. Ibnu Hazm mengartikan dengan
mentaati apa yang diperintahkan rasulullah SAW, sebagaimana firman Allah :
$tBur
ß,ÏÜZt Ç`tã
#uqolù;$#
ÇÌÈ ÷bÎ)
uqèd
wÎ)
ÖÓórur
4Óyrqã ÇÍÈ
“Dan Tiadalah yang
diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. ucapannya itu tiada
lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). ( An-Najm 3-4 )
Ibnu
hazm mengkategorikan nash hanya dari al-Qur’an dan hadist sebagai sumber hukum
pokok. Beliau berkata : “ Perintah Allah
dan RasulNya semuanya fardhu, dan semua larangan Allah dan rasulNya hukumnya
hara. Seseorang tidak pantas berkomentar persoalan ini sunah atau makruh
kecuali dengan nash yang shahih yang enerangkan hal tersebut atau ijma’.
Beliau
tidak mengkategorikan perbuatan nabi sebagai hujjah, kecuali sejalan dengan
sabda Nabi. Adapun perkataan dan taqrir Nabi beliau memasukkannya secara
lansung sebagai hujjah.
- Ijma’
Ijma’
disini yaitu terkhusus ijma’ para sahabat. Karena mereka menyaksikan langsung
turunya wahyu. Zahiri juga mempunyai pendapat berbeda dengan pendapat mayoritas
ulama, yaitu tidak ada perbedaan pendapat dalam ijma’. Sebagaimana terdahulu
beliau tidak mengkategorikan ijma’ secara umum yang meliputi ijma’ para ulama
melainkan hanya terkhusus ijma’ para sahabat saja yang hidup diawal islam
bersama Nabi. Ijma inilah yang beliau maksudkan dengan firman Allah SWT :
(#qßJÅÁtGôã$#ur È@ö7pt¿2 «!$# $YèÏJy_ wur (#qè%§xÿs? 4
(#rãä.ø$#ur |MyJ÷èÏR «!$# öNä3øn=tæ øÎ) ÷LäêZä. [ä!#yôãr& y#©9r'sù tû÷üt/ öNä3Î/qè=è% Läêóst7ô¹r'sù ÿ¾ÏmÏFuK÷èÏZÎ/ $ZRºuq÷zÎ) ÷LäêZä.ur 4n?tã $xÿx© ;otøÿãm z`ÏiB Í$¨Z9$# Nä.xs)Rr'sù $pk÷]ÏiB 3
y7Ï9ºxx. ßûÎiüt6ã ª!$# öNä3s9 ¾ÏmÏG»t#uä ÷/ä3ª=yès9 tbrßtGöksE ÇÊÉÌÈ
“ dan berpeganglah
kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan
ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah)
bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena
nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang
neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (ali ‘imran
103 )
Dan firman
Allah SWT
(#qãèÏÛr&ur ©!$# ¼ã&s!qßuur wur (#qããt»uZs? (#qè=t±øÿtGsù |=ydõs?ur ö/ä3çtÍ (
(#ÿrçÉ9ô¹$#ur 4
¨bÎ) ©!$# yìtB úïÎÉ9»¢Á9$# ÇÍÏÈ
“ dan taatlah
kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang
menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah.
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. ( Al-Anfal 46 )
Dari
hal ini apabila didapati dalam agama ada kesepakatan dan perselisihan, maka
Allah SWT telah mengabarkan dalam kitab-Nya bahwa perselisihan bukan dari
sisi-Nya. Allah berfirman
xsùr& tbrã/ytFt tb#uäöà)ø9$# 4 öqs9ur tb%x. ô`ÏB
ÏZÏã Îöxî
«!$#
(#rßy`uqs9 ÏmÏù $Zÿ»n=ÏF÷z$#
#ZÏW2
ÇÑËÈ
“ Maka Apakah
mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi
Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. ( An-Nisa
: 82 )
- Dalil
Sumber
hukum keempat yang dijadikan istimbat hukum yaitu dalil. Beliau memaksudkan
dalil disini adalah setiap perkara yang diambil dari ijma’ atau nash yang dapat
difahami maknanya secara langsung dari lafadznya dan bukan membawa keduanya
kepada makna yang lain karena adanya illat. Hal ini berbeda dengan qiyas yang
tidak disetujuinya karena qiyas mengeluarkan illat dan nash kemudian memberikan
hukum asal yang sama kepada setiap perkara yang masuk didalamnya. Adapun dalil
yang dipakai Ibnu Hazm yaitu apa yang bersandar pada kepada nash itu sendiri
dan tidak mengeluarkannya kepada proses qiyas.